BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Manusia merupakan makhluk yang
paling dimuliakan oleh Allah swt. sang
maha pencipta atas seluruh semesta alam. Menurut para ahli, manusia baru
dilahirkan sekitar satu atau dua juta tahun silam setelah seluruh sumber daya alam
dunia tersedia dan setelah ruang bumi ini tercipta. Dalam Buku Manusia Dalam Konteks Sosial Budaya dan
Teknologi Karya Prof. Dr H. Nursid
Sumaatmadja disebutkan, bahwa : “Manusia dengan alam, ada dalam konteks
keruangan yang saling mempengaruhi. Kadar saling pengaruh mempengaruhi tersebut
sangat dipengaruhi berbagai tingkat penguasaan teknologi oleh Manusia. Hubungan
manusia dengan alam di dunia ini sangatlah beragam”.( Dr H. Nursid Sumaatmadja
: 1998:72 ).
Manusia merupakan komponen biotik
lingkungan yang memiliki daya pikir dan daya nalar yang tinggi dibandingkan
dengan makhluk lainnya. Disini nampak bahwa manusia merupakan komponen
biotik lingkungan yang paling aktif.
Karena manusia secara aktif dapat mengelola dan mengubah ekosistem sesuai
dengan apa yang dikehendakinya. Kegiatan manusia ini dapat menimbulkan
bermacam-macam gejala.
Manusia mendapatkan unsur-unsur
yang diperlukan dalam Hidupnya dari Lingkungan. Semakin tinggi kebudayaan
manusia, pun semakin beraneka ragam kebutuhan hidup yang untuk pemenuhan
kebutuhan hidup tersebut diambil dari Lingkungan. Sehingga, semakin perlu pula
peranan manusia untuk memelihara Lingkungan.
Manusia merupakan Makhluk paling
aktif dalam mengubah tatanan Lingkungan. Manusia bisa dengan cepat mengubah
Lingkungan, namun karena perbuatan manusia pula lah Lingkungan menjadi berubah bahkan
dapat berdampak merusak bagi Lingkungan maupun ekosistem didalamnya.
Hubungan manusia dengan
Lingkungan tidak dapat dipisahkan, karena manusia bergantung kepada alam, pun sebaliknya,
alam pun membutuhkan campur tangan manusia untuk dipelihara sehingga tercipta
satu bentuk simbiosis.
Di lain sisi seharusnya, kita
tidak dapat menutup mata begitu saja terhadap kerusakan lingkungan yang telah
enam tahun terakhir ini memberikan kerusakan, dan mengakibatkan kecemasan pada
setiap manusia di sekitarnya. Lumpur panas yang menyembur di dekat sumur gas
Lapindo Brantas Inc. di Porong, Sidoarjo. Sampai dengan saat ini lumpur
bercampur gas metana, yang kita ketahui gas metana adalah gas beracun telah
menebarkan sengsara serta kerusakan yang akibat semburan lumpur tersebut sudah
menenggelamkan beberapa desa dan mengakibatkan kerusakkan struktur tanah hingga
3 km dari pusat semburan, tidak menutup kemungkinan apabila tetap dibiarkan menerus
menyembur, lumpur tersebut dapat menenggelami lebih banyak desa-desa sekitarnya.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Bertolak pada latar belakang di atas, penyusun
mencoba menjelaskan apa yang akan dijelaskan dalam pembahasan Makalah Kajian
Teoritis Masalah Lingkungan Lumpur Lapindo dikaitkan dengan UU No. 32 Tahun
2009 ini dengan berfokus pada satu identifikasi, yaitu :
□ Bagaimana
cara pandang UU No. 32 Tahun 2009 serta Pemerintah tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan
Hidup terhadap masalah Lumpur Lapindo
?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Lingkungan Hidup
Dalam
Undang-undang Indonesia Nomor 4 Tahun 1982, tentang ketentuan pokok pengelolaan
Lingkungan Hidup Bab I Pasal 1 dirumuskan : “Lingkungan Hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya , keadaan, makhluk hidup
termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya”.
Menurut
Prof. Emil Salim, bahwa :
“Sebagai suatu benda,kondisi,keadaan dan pengaruh
yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup
termasuk bagian dari kehidupan manusia.”
Menurut
Prof.Munajat Danusaputro,SH, bahwa :
“Segala benda dan daya serta
kondisi,termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya,yang terdapat
dalam ruang dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta
kesejahteraan manusia dan jasad-jasad hidup lainnya.”
Menurut
Prof.Otto Soemarwoto, bahwa :
“Jumlah semua benda,kondisi yang ada dalam
ruang yang kita tempati yang
mempengaruhi kehidupan kita.”
Menurut
Rumusan UU No.4 Tahun l982 { Pasal 1(
1 ), bahwa :
“Kesatuan dengan Semua benda,daya keadaan
dan Mahluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi
kelangsungaan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup
lainnya.”
Menurut
Rumusan UU No.23 Tahun l997 { Pasal l ( l ), bahwa :
“Kesatuan ruang dengan semua benda,daya
keadaan dan Mahluk hidup ,termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungaan perikehidupaan dan kesejahteraan manusia serta
Mahluk hidup lainnya.”
Beberapa
definisi di atas mengenai pengertian lingkungan hidup yang selanjutnya telah
disempurnakan kedalam UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 1, disebutkan bahwa :
“Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan,
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”
B.
Ekosistem
Yang dimaksud dengan
ekosistem adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan dimana
manusia merupakan bagian integral dari ekosistem tempat hidupnya. Ekosistem
terdiri dari suatu komunitas Biota yang berinteraksi dengan Lingkungan fisiknya
dan saling pengaruh mempengaruhi. Ekosistem ini terdiri dari bagian-bagian
dnegan fugnsi-fungsi tertentunya. Dan untuk menunjang fungsi-fungsinya itu
dioperlukan sumber energi. Setiap species menyesuaikan diri dengan tugas
tertentu dalam ekosistem dan berfungsinya ekosistem bergantung kepada adanya
kombinasi spesies yang sesuai dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu di dalam
seluruh sistem.
Menurut Pasal 1 ayat (5) UU No.
32 Tahun 2009, Ekosistem
adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuhmenyeluruh
dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan
produktivitas lingkungan hidup.
Peranan manusia dalam
ekosistem sangat luas. Sebab Lingkungan hidup masnuia tidak hanya terbatas pada
sarana fisik kimia dan biologis saja tetapi termasuk pula di dalamnya persoalan
ekonomi, sosio budaya dan agama. Segala macam perubahan dalam lingkungan hidup
manuisa, mau tidak mau akan berpengaruh terhadap dirinya.
Manusia merupakan bagian
integral dari ekosistem maka apabila struktur dan sifat fungsional ekosistem
rusak, akan mengakibatkan penderitaan pada manusia itu sendiri. Dengan
perkataan lain, bila itu terjadi maka keseimbangan ekologi akan terganggu
dengan akibat penderitaan pada manusia itu sendiri.
Kembali pada pokok
bahasan mengenai analisis kajian bencana lumpur lapindo, setidaknya ada 3 aspek
yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur panas tersebut.
-
Pertama, adalah aspek teknis. Pada awal
tragedi, Lapindo bersembunyi di balik gempa tektonik Yogyakarta yang terjadi
pada hari yang sama. Hal ini didukung pendapat yang menyatakan bahwa pemicu
semburan lumpur (liquefaction) adalah gempa (sudden cyclic shock) Yogya yang
mengakibatkan kerusakan sedimen. Namun, hal itu dibantah oleh para ahli, bahwa
gempa di Yogyakarta yang terjadi karena pergeseran Sesar Opak tidak berhubungan
dengan Surabaya. Argumen liquefaction lemah karena biasanya terjadi pada lapisan
dangkal, yakni pada sedimen yang ada pasir-lempung, bukan pada kedalaman
2.000-6.000 kaki. Lagipula, dengan merujuk gempa di California (1989) yang
berkekuatan 6.9 Mw, dengan radius terjauh likuifaksi terjadi pada jarak 110 km
dari episenter gempa, maka karena gempa Yogya lebih kecil yaitu 6.3 Mw
seharusnya radius terjauh likuifaksi kurang dari 110 Km. Akhirnya, kesalahan
prosedural yang mengemuka, seperti dugaan lubang galian belum sempat disumbat
dengan cairan beton sebagai sampul. Hal itu diakui bahwa semburan gas Lapindo
disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran.
Sesuai
dengan desain awalnya, Lapindo harus sudah memasang casing 30 inchi pada
kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi
pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki. Ketika Lapindo mengebor
lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka belum
memasang casing 9-5/8 inci.
Akhirnya,
sumur menembus satu zona bertekanan tinggi yang menyebabkan kick, yaitu
masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur. Sesuai dengan prosedur
standar, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig
segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke
dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Namun, dari informasi di lapangan,
BOP telah pecah sebelum terjadi semburan lumpur. Jika hal itu benar maka telah
terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran yang berarti pula telah terjadi
kesalahan pada prosedur operasional standar.
-
Kedua, aspek ekonomis. Lapindo Brantas
Inc. adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang
ditunjuk BP-MIGAS untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi. Saat
ini Lapindo memiliki 50% participating interest di wilayah Blok Brantas, Jawa
Timur. Dalam kasus semburan lumpur panas ini, Lapindo diduga “sengaja
menghemat” biaya operasional dengan tidak memasang casing. Jika dilihat dari
perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing berdampak pada besarnya biaya
yang dikeluarkan Lapindo. Medco, sebagai salah satu pemegang saham wilayah Blok
Brantas, dalam surat bernomor MGT-088/JKT/06, telah memperingatkan Lapindo
untuk memasang casing (selubung bor) sesuai dengan standar operasional
pengeboran minyak dan gas. Namun, entah mengapa Lapindo sengaja tidak memasang
casing, sehingga pada saat terjadi underground blow out, lumpur yang ada di
perut bumi menyembur keluar tanpa kendali.
-
Ketiga, aspek politis. Sebagai legalitas
usaha (eksplorasi atau eksploitasi), Lapindo telah mengantongi izin usaha
kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari Pemerintah sebagai
otoritas penguasa kedaulatan atas sumberdaya alam.
Poin inilah yang paling penting dalam
kasus lumpur panas ini. Pemerintah Indonesia telah lama menganut sistem ekonomi
neoliberal dalam berbagai
kebijakannya. Alhasil, seluruh potensi tambang migas dan sumberdaya alam (SDA)
“dijual” kepada swasta/individu (corporate based). Orientasi profit an sich
yang menjadi paradigma korporasi menjadikan manajemen korporasi buta akan
hal-hal lain yang menyangkut kelestarian lingkungan, peningkatan taraf hidup
rakyat, bahkan hingga bencana ekosistem.
Di Jawa Timur saja, tercatat banyak
kasus bencana yang diakibatkan lalainya para korporat penguasa tambang migas,
seperti kebocoran sektor migas di kecamatan Suko, Tuban, milik Devon Canada dan
Petrochina (2001); kadar hidro sulfidanya yang cukup tinggi menyebabkan 26
petani dirawat di rumah sakit. Kemudian kasus tumpahan minyak mentah (2002)
karena eksplorasi Premier Oil. Yang terakhir, tepat 2 bulan setelah tragedi
semburan lumpur Sidoarjo, sumur minyak Sukowati, Desa Campurejo, Kabupaten
Bojonegoro terbakar.
Akibatnya, ribuan warga sekitar sumur
minyak Sukowati harus dievakuasi untuk menghindari ancaman gas mematikan. Pihak
Petrochina East Java, meniru modus cuci tangan yang dilakukan Lapindo, mengaku
tidak tahu menahu penyebab terjadinya kebakaran.
Berbagai ramuan dan gado-gado dari kedua
paham tersebut menjadi alternatif yang diajukan. Lalu diuji coba, sebuah trial
(percobaan) yang hasilnya senantiasa error. Ekonomi neo-liberal, bersifat
kerakyatan berkeadilan sosial muncul. Namun, semua tidak menyelesaikan masalah.
Dalam kasus Indonesia, pengelolaan SDA jelas tergambar dalam pasal 33 UUD 1945.
Namun, Hak Menguasai Negara (HMN) yang ada dipergunakan oleh ’oknum negarawan’
untuk menjual negara. Dalam banyak kajian diakui bahwa paradigma HMN merupakan
salah satu penyebab dasar (underlying causes) kerusakan berbagai ekosistem,
penyusutan kekayaan alam dan dehumanisasi di Indonesia. Lantas muncul tuntutan,
supaya dikembalikan pada pengelolaan komunitas (communal right) seperti
masyarakat adat, warga setempat, atau otonomi daerah. Namun, hal itu sebenarnya
akan menjadi masalah baru yang disebut Hardin sebagai “tragedy of the commons”,
karena pemanfaatan sumberdaya yang bersifat terbuka (open access) sehingga
rentan over eksploitasi.
C.
Ekologi
Tokoh yang berjasa
mengangkat ekologi menjadi kajian yang bermakna adalah Ernest Haeckel (1866)
seorang pakar biologi Jerman. Semula ekologi ini hanyalah merupakan subdisiplin
Biologi. Namun pada perkembangan dewasa ini, ekologi itu dapat dikatakan
menjadi kajian bidang mandiri. Ekologi itu berasal dari dua kata dalam bahasa
Yunani, yaitu kata Oikos yang berarti Rumah atau tempat tinggal dan logos yang
berarti studi atau telaah. Jadi secara harfiah ekologi itu berarti studi atau
telaah tentang organisme di tempat tinggalnya. Secara lebih formal, ekologi itu
berarti studi atau telaah tentang struktur atau fungsi alam atau studi tentang
hubungan diantara organisme hidup dan keseluruhan faktor fisikal serta
biological yang membentuk lingkunganya.
Organisme, Living organism,
makhluk hidup
Yang diartikan organisme
atau makhluk hidup pada konsep ekologi yaitu tumbuhan dan hewan. Dalam hal ini
manusia termasuk kedalam kelompok hewan. Namun demikian karena manusia lebih
cocok masuk kedalam kelompok hewan namun memiliki keistimewaan tersendiri,
pembahasannya dikhususkan pada telaah ekologi manusia (human ecology).
Lingkungan, environment
Ehlich
& Ehrlich dan Holdren (1973:4) mengemukakan, The environment is the unique skin of soil, water, geseos atmosphere,
mineral nutrient and organism that covers this otherwise undistinguished
planet.
D.
Polusi
Polusi, artinya
terjadinya pencemaran lingkungan yang akan mengakibatkan menurunnya kualitas
lingkungan dan terganggunya kesehatan serta ketenangan hidup makhluk hidup
termasuk manusia. Terjadinya polusi atau pencemaran lingkungan ini umumnya
terjadi akibat aktifitas manusia yang berlebihan dan tidak terkontrol yang
menyebabkan terjadinya pencemaran tanah, air dan udara. Yang akibatnya akan
mengancam kelestarian Lingkungan.
Mengenai polutan dapat
digolongkan kedalam dua hal yakni :
1.
Yang bersifat kualitatif
Yaitu terdiri dari unsur-unsur yang
alamiah telah terdapat di dalam alam tetapi jumlahnya bertambah sedemikian
banyak sehinggga mengadakan pencemaran lingkungan. Hal ini dapat terjadi karena
bencana alam dan karena perbuatan manusia, contoh polutan misalnya unsur nitrogen,
fosfor dan lain-lainnya.
2.
Yang bersfat kuantitatif
Terdiri dari unsur-unsur yang terjadi
akibat berlangsungnya persenyawaan yang dibuat secara sintesis seperti,
pestisida detergen dan lain-lan. Umumnya polusi lingkungan ditunjukan kepada
faktor-faktor fisik seperti polusi suara, radiasi, suhu, penerangan dan
faktor-faktor kimia seperti debu, uap, gas, larutan, awan, kabut, sosioekonomi
dan kultur.
E.
Pencemaran
Lingkungan
Pencemaran terjadi bila
dalam lingkungan terdapat bahan yang menyebabkan timbulnya perubahan yang tidak
diharapkan, baik yang bersifat fisik, kimiawi maupun biologis sehingga
mengganggu kesehatan, eksistensi manusia, dan aktivitas manusia serta organisme
lainnya. Bahan pencemaran itu disebut dengan polutan.
Pasal 1 ayat (21), Bahan berbahaya dan beracun yang
selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena
sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup
lain.
F.
Perizinan
Di
samping segala sesuatu mengenai Hukum Lingkungan diperlukan adanya peranan
perizinan, berikut pembahasan seputar perizinan :
Menurut Sjahchran Basah, Izin adalah : “Perbuatan Hukum Administrasi Negara
bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan
persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan “.
Sedang Menurut E.Utrecht mengatakan, bahwa “Bilamana
pembuat peraturan umumnya tidak melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga
memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal
konkret,maka keputusan Administrasi Negara yang memperkenankan perbuatan
tersebut bersifat suatu izin”.
Menurut
Bagir Manan , Izin berarti “Suatu
persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum
dilarang”.
Dan Menurut NM Spelt & JBJM Ten Berger membagi
menjadi dua, yaitu :
a>
Dalam
Arti Luas : “Adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-Undang
atau Peraturan Pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari
ketentuan-ketentuan larangan perundang-undangan
“
b>
Dalam
Arti Sempit : “Pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin
Pada umumnya
didasarkan pada keinginan pembuat Undang- undang untuk mencapai suatu tatanan
tertentu atau untuk menghalangi
keadaan-keadaan yang buruk”.
Kepala BLH Sidoarjo Erni
Setyowati menegaskan dia tidak akan menandatangani izin UKL-UPL yang diajukan
Lapindo. "Rekomendasi UKL-UPL itu saya yang menandatangani, dan saya tidak
akan menandatangani," tandas Erni menjelaskan kepada wartawan, Selasa 15
Mei 2012. Alasan Erni tidak mau menandatangani izin UKL-UPL sudah jelas, karena
sampai saat ini rencana eksplorasi tiga sumur migas di Desa Kedungbanteng
ditolak warga. BLH tidak mau mengambil resiko memberikan rekomendasi yang
nantinya dijadikan acuan untuk mengeluarkan HO (izin gangguan).
Penolakan atas rencana ekplorasi
(perluasan) sumur migas di Desa Kedungbanteng, bukan hanya dari warga Banjar
Asri yang berjarak sekitar 100 meter dari lokasi sumur. Namun, penolakan juga
dilakukan warga Desa Kalidawir dan sekitarnya. Bahkan, korban lumpur juga
dengan tegas menolak rencana eksplorasi sumur migas Lapindo sebelum jual beli
aset mereka dilunasi. Jika UKL-UPL tidak disetujui oleh BLH, proses perizinan
lainnya juga tidak akan bisa dilanjutkan seperti HO.
Terpisah, Kepala Desa Banjar
Asri, Didik Fakhrudin mengatakan warganya sejak awal sudah menolak rencana
Lapindo untuk mengeksplorasi tiga sumur migas di Desa Kedungbanteng yang
jaraknya sekitar 100 meter dari pemukiman warganya. Namun, Lapindo berupaya
mendekati beberapa warga agar mau menyetujui ekplorasi.
"Pernyataan
warga kan sudah jelas menolak. Kok Lapindo masih berusaha mendekati warga
lagi," tegasnya.
Didik juga mempertanyakan sumur
migas Lapindo di Kedungbanteng yang berada di dekat pemukiman warga. Sebab,
untuk kegiatan eksplorasi migas harusnya jauh dari pemukiman warga. Kalau kini
Pemkab Sidoarjo memberi izin eksplorasi lagi, patut dipertanyakan karena lokasi
sumur migas dekat pemukiman warga.
Anggota Komisi A DPRD Sidoarjo
Iswahyudi menegaskan langkah yang dilakukan BLH dengan tidak memberi izin
UKL-UPL untuk eksplorasi sumur migas Lapindo sudah tepat.
"Dinas
terkait harus menjalankan prosedur yang sudah ada. Kalau memang sumur migas itu
ditolak warga, sudah seharusya izin UKL-UPL juga ditolak," tandas politisi
PDIP tersebut.
Iswahyudi menambahkan, pemkab
harus belajar dari kondisi sebelumnya izin ekplorasi migas yang diajukan
Lapindo. Salah satunya, jangan sampai lokasi sumur migas berdekatan dengan
pemukiman warga. Dalam hal ini, pemkab harus tegas dalam menegakkan izin
ekplorasi migas di bumi Sidoarjo.
Sekedar diketahui, Lapindo
Brantas Inc, rencananya akan memperluas eksplorasi sumur migas di kawasan Desa
Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin. Lapindo mempunyai dua sumur migas di
Desa Kalidawir, Kecamatan Tanggulangin dan tiga sumur di Desa Kedungbanteng.
Rencana perluasan eksplorasi migas itu akan dikakukan di tiga sumur di
Kedungbanteng dan kini diprotes warga.
Alasan
penolakan perluasan sumur gas migas Lapindo, salah satunya warga masih trauma
atas munculnya semburan lumpur di areal Sumur Banjar Panji I, di Desa
Renokenongo, Kecamatan Porong. Akibat semburan lumpur panas itu, sekitar 700
hektar kawasan Porong dan sekitarnya kini terendam lumpur.
Jarak sumur migas Lapindo di
Desa Kedungbanteng, hanya sekitar 110 meter dari pemukiman warga Banjar Asri.
Selain itu, untuk kegiatan ke sumur juga melewati desa tersebut. Karena itulah,
warga terus menyuarakan penolakan pengeboran tersebut.
Anita
mengaku, jika alasan warga demo menolak perluasan pengeboran sumur itu karena
trauma atas kejadian semburan lumpur, pihaknya siap bertemu dengan warga dan
mencarikan solusinya. Dia memastikam dalam perluasan sumur Lapindo itu aman dan
dia mengajak warga untuk ikut mengawasinya dalam rangka menghilangkan ketakutan
munculnya semburan lumpur.
Sebelumnya Bupati Sidoarjo
Saifullah juga menandaskan tidak akan mengeluarkan izin eksplorasi sumur migas
Lapindo Brantas Inc di Sidoarjo. Pasalnya, sampai saat ini rencana perluasan
sumur di kawasan Tanggulangin ditolak warga.
Saifullah
mengatakan, dia akan memberikan izin perluasan ekplorasi sumur migas Lapindo
jika warga sudah memberi izin. "Kalau warga menolak, sebagai bupati tentu
saya tidak akan memberi izin Lapindo untuk ngebor lagi di Sidoarjo. Berbeda
jika warga mau menerima, tentu akan saya keluarkan izinnya," ujarnya.
Alasan bupati menunggu restu warga Sidoarjo untuk izin pengeboran Lapindo,
karena dia tidak ingin nantinya disalahkan jika ada masalah di kemudian hari.
Selain itu, warga Sidoarjo masih trauma atas munculnya semburan lumpur panas di
sekitar areal pengeboran milik Lapindo di Sumur Banjar Panji 1, Desa
Renokenongo, Kecamatan Porong.
Ketua DPR RI Marzuki Alie
menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah daerah, tentang perizinan pengeboran
kembali PT Lapindo Berantas di Banjarasri, Porong, Jawa Timur. Dan singkat
cerita Gubernur Jawa Timur tidak memberikan izin sebelum permasalahan luapan
lumpur dinyatakan selesai.
Menurut Pasal 63 ayat (3) UU No.
32 Tahun 2009, dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota
bertugas dan berwenang: poin (a) menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota,
poin (d) menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL.
Menurut Pasal 63 ayat (2) UU No.
32 Tahun 2009, dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah
provinsi bertugas dan berwenang:, poin (g) mengoordinasikan dan melaksanakan
pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup lintas kabupaten/kota, poin (l) melakukan
pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang
program dan kegiatan.
Apabila kita flashback ke masa jayanya hukum adat,
sudah barang tentu dengan mutlak pemerintah segera langsung menolak permohonan
perizinan pengeboran kembali tersebut. Dampak yang sampai saat ini memberikan
kesengsaraan bagi warga desa-desa sekitar seharusnya dapat menjadi acuan
pertimbangan pemerintah dalam mengambil putusan penolakkan, baik pemerintah
“pusat” maupun daerah. Alangkah baiknya pemerintah meminta izin pada masyarakat
terlebih dahulu, sebelumnya dengan melakukan musyawarah, penyusun kira ini akan
nampak lebih harmonis. Sungguh sangat tragisnya apabila sampai terjadi
realisasi permohonan rencana eksplorasi tiga sumur migas di Desa Kedungbanteng
tersebut, mengingat kesengsaraan warga korban semburan PT. Lumpur Lapindo
Brantas ini belum pulih. Karena persis dengan isi Pasal 65 ayat (2), bahwa Setiap orang berhak mendapatkan
pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses
keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dan
menurut Pasal 65 ayat (3), bahwa Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau
keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat
menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
Idealnya pemerintah dapat segera mengambil sikap, sesuai Pasal
76 UU No. 32 Tahun 2009, bahwa “Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan”.
Hakekatnya, Negara kita menganut
sistem hukum yangmana dalam setiap pergerakkan manusia atau kelompok manusianya
dibatasi dengan adanya hukum tersebut. Dengan adanya batasan tersebut
diperlukan izin yang gunanya untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari
ketentuan-ketentuan larangan perundang-undangan, kita ketahui Negara kita
berazas kerakyatan yang dalam hal ini tidak hanya undang-undang yang menjadi
acuan perizinan, pun masyarakat atau individu terkait dalam hal tertentu memegang
peranan sama dalam pengambilan perizinan.
G.
Kondisi Masalah Lapindo
Badan
Lingkungan Hidup (BLH) Sidoarjo menolak izin (Upaya Kelola Lingkungan dan Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL-UPL) eksplorasi sumur migas di Desa Kedungbanteng,
Kecamatan Tanggulangi yang diajukan Lapindo Brantas Inc. Pasalnya, sampai saat
ini belum ada persetujuan dari warga sekitar.
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mencatat kandungan
gas metana yang keluar di sekitar lumpur Lapindo itu tinggi. Hasil survei tim
geohazard BPLS menyebutkan bahwa di beberapa titik, kadar gas yang mudah
terbakar atau Lower Explosive Limit (LEL) mencapai 100 persen. "Kondisinya
berbahaya dan mudah terbakar," kata juru bicara BPLS, Achmad Khusaeri,
Rabu, 14 September 2011. Untuk mengatasi semburan gas liar ini, BPLS memasang
separator berbentuk cerobong setinggi empat meter di sejumlah tempat dengan
kandungan gas metana tinggi. Tujuannya untuk memisahkan antara gas metana dan
air.
Air
dialirkan ke saluran drainase, sedangkan gas metana dilepas ke udara bebas. Ia
menyarankan warga agar tak membakar gas liar atau memanfaatkannya untuk memasak
karena gas metana besar dikhawatirkan memicu kebakaran. Gas liar bermunculan di
permukiman warga Desa Ketapang dan Pamotan, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten
Sidoarjo. Bahkan sebagian gas liar juga bermunculan di dalam rumah warga.
Gas
keluar di sela-sela sambungan lantai keramik rumah Sunandar, warga Ketapang. Di
dalam rumahnya tersebar enam titik gas metana. Salah satunya menjalar sepanjang
lima meter.
Mereka khawatir gas semakin
banyak dan mengganggu kesehatan. Padahal kedua desa itu merupakan daerah di
luar peta yang tersebar di 45 rukun tetangga yang tak mendapat ganti rugi.
Ironisnya lagi, sejumlah warga justru memanfaatkan semburan gas metana ini
untuk memasak air serta menanak nasi. Mereka memasang tungku di atas lubang
semburan gas liar tersebut. Aktivitas ini dilakukannya setiap hari.
"Menghemat beli gas," kata Sulikah, salah satu warga.
Penyusun kira ini sangat ironi,
dampak yang paling mengerikan lagi adalah apabila terdapat korban meninggal dunia,
menurut Pasal 112 UU No. 32 Tahun 2009, bahwa “Setiap pejabat berwenang yang
dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan
hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
H. Solusi
Deputi Bidang Pengendalian
Pencemaran Kementerian Lingkungan Hidup, MR Karliansyah, di Seminar Empat Tahun
Lumpur Lapindo 'Pengelolaan LuSi dalam Perspektif Teknik dan Ilmu Kebumian', di
Gedung Rektorat ITS Surabaya, Selasa (30/11) Menurutnya, pengelolaan Lumpur
Lapindo yang kini jumlah gelembungnya kian meningkat menjadi sekitar 180
gelembung, belum dapat meneliti sampai ke dasar lumpur tersebut. terlebih,
semburan baik berukuran besar, sedang maupun kecil tersebut mengandung di
antaranya lumpur, air, dan gas yang membahayakan lingkungan permukiman”.
“Sampai sekarang, ketinggian tanggul sudah mencapai 12 meter lebih,"
katanya menjelaskan. banyak upaya seperti pembangunan tanggul penahan lumpur,
pelaksanaan kajian sosial, ekonomi, dan kelembagaan dinilai kurang
mengantisipasinya. "Perlu kajian mendalam yang bisa menggali kandungan apa
saja di lumpur tersebut untuk mengatasinya,"
Penyusun kira upaya seperti
pembangunan tanggul penahan lumpur, pelaksanaan kajian sosial, ekonomi, dan
kelembagaan dinilai kurang efektif untuk menanggulangi dampak semburan yang
kian hari kian meluas. Sebaiknya mari pola pikir kita disamping beberapa hal
antisipatif di atas, coba kita pandang sisi analisis ilmiah yang sifatnya progresif daripada kandungan
unsur-unsur yang terkandung didalam lumpur lapindo ini, sehingga diperlukan
kajian mendalam yang bisa menggali kandungan apa saja yang terdapat pada lumpur
tersebut, barulah setelah itu dicari tahu sisi efektif untuk mengatasinya
secara ilmiah dan kontruktif yang memiliki tingkat resiko yang cukup rendah
bagi setiap elemen tergabung didalamnya.
Pemerintah dalam hal ini perlu memberikan
dukungan penuh secara finansial serta non finansial, salah satunya perihal
alokasi dana anggaran untuk progres proses penanggulangan lumpur lapindo, pemerintah
pun perlu berkonsilidasi dengan beberapa pakar ahli dibidang ini, serta
pembayaran pelunasan ganti rugi harta serta tempat tinggal korban, namun dalam
hal pelunasan ganti rugi korban pemerintah perlu cermat dan selektif memilah
korban yang sungguh dirugikan sesuai dengan nominal yang dibuktikan serta bukti
administrasi yang kompleks dan jelas.
Pada tahun 2012 ini alokasi
anggaran dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah lumpur lapindo terkait
ganti rugi untuk desa yang terkena dampak maupun diluar peta dampak lumpur
lapindo (versi pemerintah) berkisar 1,3 Trilliun rupiah.
Selama alokasi anggaran ini
berlangsung dalam proses, sangat diperlukan pengawasan terinci dari pihak
aparat yang bertanggungjawab untuk hal ini dan bekerja secara professional. 1,3
Trilliun rupiah adalah sebuah anggaran yang fantastis dan saya kira cukup untuk
pemerintah melunasi kerugian korban, dan “mudah-mudahan” tersalurkan secara
cepat dan benar ke tangan korban yang dibenarkan. amin
Walaupun sebenarnya jika kita
telaah kebelakang sejarah luapan lumpur ini jelas-jelas akibat dampak
pengeboran yang dilakukan PT. Lumpur Lapindo dalam melakukan exploitasi sumber
daya alam. Dan apabila kita kaji sumber hokum (
I.
Dampak Sosial
Peristiwa
ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas menggenangi areal
persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat
volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari
(setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar).
Akibatnya,
semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar.
Lumpur
sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg) air
raksa, misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter
Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker.
Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung
berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.
Menurut aktivis Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia, Yuliani, enam tahun masalah lumpur lapindo hanya
menimbulkan dampak sosial. Masalah kesehatan misalnya : Data di
Puskesmas Porong menunjukkan tren sejumlah penyakit terus meningkat sejak 2006.
Penderita infeksi saluran pernapasan (ISPA) yang pada 2005 sebanyak 24.719
orang, pada 2009 meningkat pesat menjadi 52.543 orang. Selain itu, gastritis
yang pada 2005 baru 7.416 orang, pada 2009 melonjak tiga kali lipat menjadi
22.189 penderita. MasyaAllah
Kemudian masalah pendidikan,
setelah 33 sekolah ditenggelamkan lumpur. Hingga saat ini, belum ada satu pun
sekolah pengganti yang dibangun pemerintah.
Bagi aktivitas perekonomian di Jawa
Timur: genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total warga yang
dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak
1.683 unit; areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha;
lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan
merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan
lingkungan wilayah yang tergenangi; rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur
(jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya
yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto)
dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di
Jawa Timur.
Lama
sudah tidak menunjukkan perbaikan kondisi pulih, baik menyangkut kepedulian
pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian
penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai
mengemuka.
Perpecahan
warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, teori konspirasi penyuapan oleh
Lapindo, rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi
pembuangan lumpur setelah skenario penanganan teknis kebocoran 1 (menggunakan
snubbing unit) dan 2 (pembuatan relief well) mengalami kegagalan. Akhirnya,
yang muncul adalah konflik horisontal.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Indonesia dikenal sebagai negara kaya akan sumber
daya alamnya, baik mineral, minyak, batu bara,
dan gas. Namun disisi lain dari kekayaan alam ini ada bahaya yang
mengintai yakni bahwa indonesia adalah tuan rumah dari letusan gunung berapi
dan juga berada pada area fraktur line (daerah patahan) yang mudah mengalami
pergeseran baik berupa lipatan dan patahan.
Pendek kata, bahwa setiap usaha eksploitasi khususnya
masalah yang kita alami sekarang ini adalah GAS, maka sangat penting harus
memperhitungkan keadaan ini. Sehingga ijin pengeboran Gas ke perusahaan yang
tidak Qualited fight (tidak mumpuni) instansi pemerintah daerah maupun pusat
perlu mengetahui resikonya maka pihak pemberi ijin pun harus tahu juga seberapa
besar kekuatan perusahaan tersebut bila terjadi dampak negatif.
Pada 29
Mei 2012 kemarin tragedi luapan lumpur lapindo di Porong, Sidoarjo memasuki
tahun keenam, artinya terhitung sejak waktu awal luapannya lumpur lapindo pada
tanggal 29 Mei 2006. Demikian penyelesaian sejumlah masalah yang diakibatkan
darinya masih menyisakan tanda tanya.
Semburan
masih Nampak, di lain sisi pembayaran ganti rugi pada korban pun belum tuntas.
Diterangkan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), rata-rata volume
lumpur yang menyembur berkisar 10 hingga 15 ribu meter kubik per hari.
Tumpukan 4.129 berkas dari 13.286 keseluruhan
berkas korban lumpur belum dilunasi. Nilai ganti rugi mencapai sekitar Rp 920
miliar. Bahkan mereka yang dinyatakan belum lolos verifikasi sengketa lahan,
belum mendapat pembayaran sama sekali, yaitu sebanyak 73 berkas dengan nilai ganti
rugi Rp 27,5 miliar. Lapindo hanya bisa menjanjikan Rp 400 miliar yang akan
didistribusikan pada Juli mendatang dengan prioritas ganti rugi di bawah Rp 500
juta. Sedangkan sisanya 'belum jelas'.
Salah
satu “masalah” mengenai lingkungan yang penyusun bahas ini condong kepada
pengendalian administrasi, termasuk kedalamnya mengenai perijinan pokok
mengenai pengelolaan lingkungan hidup tepatnya untuk hal ini adalah di Porong –
Sidoarjo.
Penyusun
kira untuk saat ini, Pemerintah dalam hal ini perlu memberikan dukungan
penuh secara finansial serta non finansial terhadap penanggulangan dampak
daripada bencana lumpur lapindo sesuai penjelasan penyusun dalam pembahasan di
atas.
Paham
kepemilikan telah menjadi polemik para ekonom. Para ekonom kapitalis seperti digambarkan
Hessen, ia berpendapat bahwa jika
seluruh kepemilikan bertumpu pada individu (economic individualism) akan
membuat suatu kompetisi penuh, yang digambarkan Adam Smith sebagai ’sistem
sederhana dari kebebasan alamiah’. Namun, dari perjalanan Kapitalisme mulai
revolusi industri hingga sekarang, banyak borok-borok yang ditimbulkan dari
paham kepemilikan privat ini. Lawannya jelas ekonom sosialis, seperti
digambarkan Heilbroner, bahwa seluruh kepemilikan dipegang oleh negara. Dalam
perjalanan, paham ini juga bukan tanpa masalah, karena kepemilikan negara
direpresentasikan oleh ’pejabat negara’ yang boleh mengeksplotasi ’warga
negara’ karena tidak ada hak kepemilikan privat dalam paham ini. Maka masalah
pun muncul.
Islam menjawab itu semua,
dengan konsep kepemilikan yang jelas: kepemilikan individu (private property);
kepemilikan umum (collective property); dan kepemilikan negara (state
property). Khusus berkenaan dengan kepemilikan umum, yaitu seluruh kekayaan
yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum Muslim, dan
menjadikan kekayaan tersebut sebagai milik bersama kaum Muslim.
Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun
terlarang memilikinya secara pribadi. Zallum
mengelompokkan dalam tiga jenis:
(1)
Sarana umum yang diperlukan seluruh warga negara untuk keperluan sehari-hari
seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik dll;
(2)
Kekayaan yang asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya, seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk,
selat, kanal, lapangan, masjid dll;
(3)
Barang tambang (sumberdaya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat
seperti emas atau besi, cair seperti minyak bumi atau gas seperti gas alam.
Rasulullah saw. Bersabda:
“Kaum Muslim itu berserikat dalam
tiga hal: air, padang rumput/hutan dan api/energi”. (HR Abu Dawud dan Ibn
Majah).
Walaupun akses terhadapnya terbuka bagi
kaum Muslim, regulasi diatur oleh negara. Kekayaan ini merupakan salah satu
sumber pendapatan Baitul Mal kaum
Muslim. Khalifah selaku pemimpin negara bisa berijtihad dalam rangka
mendistribusikan harta tersebut kepada kaum Muslim demi kemaslahatan Islam dan
kaum Muslim. Dalam konsep Islam, sesuai dengan tujuan negara bonum publicum, negara tidak akan
menjadi pengkhianat rakyat, namun justru menjadi pelindung bagi rakyatnya.
Serta pada tahun 2006 telah muncul
keppres No.13 thn 2006 tentang TIM NASIONAL PENANGGULANGAN SEMBURAN LUMPUR DI
SIDOARJO yang menyatakan bahwa dalam rangka penanggulangan semburan lumpur
disekitar Sumur Banjar Panji-I, Sidoarjo, Jawa Timur, perlu dilaksanakan
langkah-langkah penyelamatan penduduk di sekitar daerah bencana, menjaga
infrastruktur dasar, dan penyelesaian masalah semburan lumpur dengan
memperhitungkan resiko lingkungan yang paling keci dan hal ini Tim Nasional
Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo sebagai pelaksananya dan Biaya yang
diperlukan bagi pelaksanaan tugas Tim Nasional dibebankan pada anggaran PT.
Lapindo Brantas.
Selanjutnya terbit lagi Peraturan
Pemerintah (PP) No14/2007tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS)
yang membebankan biaya kerugian diambil dari APBN sebesar Rp 9,3 T dan telah
disahkan oleh presiden.
Dan sekarang ini ketidakjelasan tangung
gugat atas kejadian Semburan Lumpur Lapindo menjadi pusat perhatian tingkat
nasional
Niat baik pemerintah RI untuk exploitasi
Gas di Porong-Sidoarjo melalui PT. Minarak Lapindo adalah untuk memakmurkan
bangsanya (walau sekarang bagaikan kena penyakit paru-paru). Namun sayangnya
ketika terjadi masalah Semburan Lumpur Lapindo, pemerintah malah membebani
masalah dengan masalah pada rakyatnya sendiri dengan Lumpur dan APBN (pajak
rakyat tuh).
Masyarakat sudah menderita dengan lumpur dan malah membebani
APBN yang nota bene adalah duit dari pajak rakyat untuk membayar ganti rugi
akibat kelalaian PT. Minarak Lapindo dalam menangani pengeboran.
3.2 Penyegaran
Didalam
poin ini penyusun mencoba memberikan semoga dapat memberikan penyegaran kita
dan sekaligus diharapkan juga dapat menjadi saran untuk kita.
Mula-mula penyusun
menyinggung mengenai Rasa cinta tanah air atau nasionalisme, yakni rasa
kebanggaan, rasa memiliki, rasa menghargai, rasa menghormati serta loyalitas
yang dimiliki oleh setiap individu dalam pada negara tempat ia tinggal yang
tercermin dari perilaku membela tanah airnya, menjaga dan melindungi tanah
airnya, rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negaranya, mencintai adat
atau budaya yang ada dinegaranya dengan melestarikannya dan melestarikan alam serta
lingkungan dimana ia tinggal sekaligus menjalani kehidupan.
Individu yang memiliki
rasa cinta pada tanah airnya akan berusaha dengan segala daya upaya yang
dimilikinya untuk melindungi, menjaga kedaulatan, kehormatan dan segala apa
yang dimiliki oleh negaranya. Rasa cinta tanah air inilah yang mendorong
perilaku individu untuk membangun negaranya dengan penuh dedikasi. Oleh karenanya,
rasa cinta tanah air perlu ditumbuhkembangkan dalam jiwa setiap individu yang
menjadi warga dari sebuah negara atau bangsa agar tujuan hidup bersama dapat
tercapai.
Generasi
“founding fathers” pada masa penjajahan berhasil membangkitkan rasa cinta tanah
air dan bangsa yang pada akhirnya berhasil memerdekakan bangsa Indonesia. Kalau
saja rasa cinta tanah air dan bangsa sekali lagi bisa menjadi faktor yang
memotivasi bangsa Indonesia, ada kemungkinan bangsa Indonesia akan bisa bangkit
kembali dengan masyarakatnya serta bisa menghasilkan karya-karya yang
membanggakan kita sebagai bangsa.
Cinta
tanah air sebaiknya ditanamkan pada setiap jiwa serta raga Warga Negara
Indonesia sejak usia dini, karena penyusun harapkan dampaknya baik bagi kita semua
dikemudian hari. amin
Akhirnya, penulis berharap
semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Penulis merasa bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan,
sehingga kritik dan saran akan penulis terima dengan senang hati.
Daftar
Pustaka
Buku :
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
Undang-Undang tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005- 2025.
Eggi
Sudjana Riyanto, 1999. Penegakan Hukum
Lingkungan dan Perspektig Etika Bisnis di Indonesia.
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hadjon,
Philipus. 1998. Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia, Yogyakarta, UGM Press.
Ayu, KRH I
Gusti. 2005. Upaya Penegakan Hukum
Lingkungan. Harian Solopos, 5 Juni 2005.
Kartawinata.
1990. Bentuk-bentuk Eksploitasi Sumber
daya ALam. Laporan Peneliitian BPTP-DAS
Surakarta.
Siti Sundari Rangkuti,
2003. Instrumen Hukum Pengelolaan.
Hessen, R. Capitalism. The
Concise Encyclopedia of Economics.
Heilbroner, R. Socialism. The
Concise Encyclopedia of Economics.
Saptariani, N. Potret Perspektif Keadilan Gender dalam Pengelolaan SDA di Indonesia.
Jurnal Perdikan.
Prasetiamartati, B. Potensi Komunitas dalam
Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang: Menilik
Kasus Pulau Tambolongan, Sulawesi Selatan. INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006.
Hardin, G. The Tragedy of the Commons. SCIENCE 162 (1968):
1243-48
Zallum, A.Q. 1988. Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (terj.).
Hizbut Tahrir.
Sumber lainnya (Internet, Surat
Kabar, dll.) :
Wardekker,
W. L. (2004). Identity, Plurality, and
Education. Philosophy of Education Society.
http://www.ed.uiuc.edu/EPS/PES-Yearbook/95_docs/wardekker.html.
Wikipedia
Indonesia, Banjir Lumpur Panas Sidoarjo
2006
Koran Tempo,
16 Juni 06
Kompas, 19
Juni 2006
Hot Mud Flow in East Java, Indonesia,
Blog
Kompas, 8 Juni
2006
Hamid, A. Bahaya Lumpur Lapindo. ICMI Online.
20 Juni 2006.
Wikipedia
Indonesia, Lapindo Brantas, dan lihat
website BPMIGAS.
Cabut
PSC Lapindo, Solusi Terhadap Ancaman Bencana Bagi Masyarakat di Sekitar Blok
Brantas,
http://www.walhi.or.id/ kampanye/cemar/industri/060728_psclapindo_rep/